2012-12-12

Evacuated Tube Transport (ETT)


Keliling Dunia dalam Enam Jam, Mau?

foto

Jum''at, 20 April 2012 | 00:12 WIB
TEMPO.CO , London -  Bayangkan Anda tengah berjalan-jalan di London, dan wuzz...tiga perempat jam kemudian, Anda sudah berada di bawah patung Liberty di New York. Jika ide revolusioner dalam bidang transportasi ini terwujud, maka keliling dunia hanya akan ditempuh dalam waktu enam jam saja.

Adalah teknologi Evacuated Tube Transport (ETT) yang memungkinkan ide ini terwujud. Moda transportasi lintas benua ini bukan transportasi udara supercepat, melainkan semacam tabung dengan rel khusus yang nir-gesekan. Perancangnya mengklaim teknologi ini super aman, sangat murah, dan lebih tenang dari kereta api atau pesawat terbang.

Menggunakan tabung hampa udara dengan enam kursi, gerbong sebesar 183 kg ini dirancang untuk mencapai kecepatan fenomenal hingga 4.000 mph (6.500 km/jam), dengan menggunakan energi jauh lebih sedikit daripada metode transportasi konvensional.

Tabung ini memungkinkan penumpang untuk melakukan perjalanan dari New York ke Los Angeles hanya dalam 45 menit, dari New York ke Cina hanya dalam dua jam, atau keliling dunia hanya dalam enam jam.

Para desainer di belakang ETT percaya bahwa sistem mereka lima puluh kali lebih cepat dari mobil listrik atau kereta api tercepat. Melalui jalur khusus Personal Rapid Transit, ''gerbong'' berbentuk kapsul ini akan melesat bak lalu lintas di internet. Pembangunan jalur itu juga diklaim hanya seperempat biaya jalan raya dan sepersepuluh dari biaya pembangunan rel kereta api supercepat.

Namun sayangnya, hingga kini belum ada pihak yang berminat mengembangkannya. Teknologi bernama dagang Evacuated Tube Transport ini pertama diciptakan oleh insinyur mekanik Daryl Oster di tahun 1990-an awal dan pada tahun 1997 ia mendapatkan paten untuk teknologi ini.

Sejak itu ia telah berhasil membangun konsorsium pemegang lisensi untuk membantunya mengembangkan sistem ETT. Namun, meskipun penawaran untuk beberapa proyek infrastruktur publik telah dilakukan sejak saat itu, terakhir di Korea, teknologi ini belum juga ''lepas landas''.

2012-04-01

Berbagi Itu Mulia

Apa makna hidup? Banyak pendapat tentang hal ini. Akan tetapi, satu di antaranya adalah berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Salah seorang terkaya di dunia, Warren Buffet, agaknya memahami benar makna hidup. Ia tidak hanya ingin berguna bagi dirinya, tetapi bagaimana dirinya berguna bagi orang lain. Ia memiliki pandangan yang lebih kurang sama dengan mendiang Rose Kennedy, yang dengan tegas menyatakan bahwa semua anggota keluarga Kennedy, pria-wanita, sehat-kurang sehat, harus berguna bagi Amerika Serikat dan dunia.
Bagi Warren Buffet, hidup ini baru sangat bermakna kalau kita bisa berbagi sebab berbagi itu mulia.
Warren Buffet yang selalu bergantian dengan Bill Gates menjadi orang terkaya di Amerika Serikat dan dunia, di antaranya menjadi pemilik Bank of America, Coca Cola, IBM, Colgate, Gillette, dan aneka usaha ritel. Kekayaannya antara 40 miliar dollar AS dan 50 miliar dollar AS. Hal yang mengesankan adalah ia menyatakan akan menyerahkan 80 persen dari kekayaannya kepada sebuah lembaga sosial yang dipelopori Bill Gates. Dua anaknya tidak perlu diberi banyak warisan agar mereka tetap memiliki kreasi, inovasi, serta membangun mental suka berbagi.
Bagi Warren Buffet, hidup ini baru sangat bermakna kalau kita bisa berbagi sebab berbagi itu mulia. Amerika Serikat, meski menjadi negara kaya, masih banyak warganya yang hidup serba miskin. Mereka tidur di taman, di bawah jembatan, di samping asrama mahasiswa, dan sebagainya. Banyak pula anak muda Amerika Serikat yang brilian sehingga perlu diberi anggaran lebih untuk membuat riset berkelas. Kelak riset mereka amat berguna bagi kemanusiaan dan kemajuan peradaban manusia.
Hal yang mengejutkan, lelaki kaya raya ini hidup amat sederhana. Meski seorang triliuner, ia kurang suka pesta dan enggan membuang uang percuma. Pakaian yang dikenakannya dari bahan sederhana, begitu pula sepatunya. Perabotan di rumahnya pun, seperti pernah ditulis beberapa media terkemuka di Amerika Serikat, terbuat dari ”bahan biasa”, tidak mencerminkan seorang triliuner dunia.
Dalam pengamatan Kompas, para usahawan besar yang membangun usahanya dari bawah tak sedikit yang mempunyai gaya hidup mirip Warren Buffet. Mereka ada yang hidup sederhana. Mereka mengganti mobil setelah menggunakannya enam sampai delapan tahun.
Rumah mereka pun umumnya sangat sederhana. Rumah mereka sama sekali tidak mencerminkan rumah orang yang sangat berada. Mereka lebih memilih menyumbang untuk tujuan sosial.
Mereka sangat unik. Beberapa eksekutif tingkat tinggi di perusahaan-perusahaan skala besar di Jakarta menuturkan, mereka kerap sungkan kalau datang ke rumah majikannya. Rumahnya ternyata jauh lebih mentereng dibandingkan dengan rumah majikannya

Keikhlasan yang Memesona

Usahawan Edwin Soeryadjaya lagi jadi buah bibir. Bukan hanya karena ia tengah meraih sukses besar sebagai usahawan, melainkan juga karena keikhlasannya berteman dan kecintaannya kepada kedua orangtuanya. Dan kendati menjadi sumber inspirasi para saudagar, Edwin tetap lebih suka berada di belakang panggung.

Hal yang banyak dipercakapkan adalah sikapnya ketika krisis Bank Summa sekitar tahun 1990. Pada masa yang amat sulit itu, sang ayah, yakni William Soeryadjaya, melepas banyak aset, termasuk saham di PT Astra International. Edwin lebih banyak diam bersama orangtuanya. Tidak ada kata-kata mengumpat.

Ketika ditanya Kompas, bisnis apa yang ia kembangkan sekarang, ia hanya berkata pendek, ”Ada deh, namanya juga kita perlu hidup. Yang penting hidup lurus.”

Sejumlah pengusaha terkemuka angkat topi soal Edwin. Menurut mereka, sukses Edwin dalam bisnis pertambangan, perdagangan, dan industri selama satu dasawarsa terakhir ini semacam buah dari kesabaran, ketabahan, dan keikhlasan.

”Dalam kehidupan bisnis dan tentu juga dalam aspek kehidupan lain, keikhlasan yang dilakukan Edwin itu sesuatu yang memesona. Sang Maha Pencipta memberi rahmat luar biasa baginya,” ujar CEO Grup Garudafood Sudhamek Agoeng, di Jakarta, pekan lalu. Apa yang dilakukan Edwin menambah spirit para pebisnis lain. Ia membuat para pelaku ekonomi melihat ada lokomotif lain dari kehidupan berbisnis.

Dari catatan Kompas, pencapaian Edwin dalam bisnis ini sudah melampaui apa yang pernah diraih ayahnya. Hal yang kemudian tampak menarik adalah sikapnya yang tetap rendah hati. Ia acap datang ke forum publik, tetapi selalu enggan berada di panggung. Ia lebih suka di belakang layar. Tidak heran kalau kini ia menjadi usahawan yang dipandang publik.

Tentu bukan hanya Edwin yang patut menjadi contoh dalam berbisnis dan berbagai sikap nonbisnis, seperti ketabahan dan keikhlasan. Anak-anak dari taipan Eka Tjipta Widjaja termasuk di antara pebisnis yang sukses. Mereka juga dikenal taat kepada orangtua. Eka Tjipta juga mendidik mereka dengan keras. Hasilnya, anak-anaknya kini jauh dari manja, menjadi pekerja keras, dan tidak mudah menyerah.

Nirwan Bakrie, Solichin Kalla, dan Erwin Aksa Machmud, sekadar menyebut beberapa contoh, juga termasuk di antara usahawan-usahawan sukses yang tetap dekat dengan orangtuanya. Orangtua menjadi sumber inspirasi dan panutan yang luar biasa.

Soal Jusuf Kalla, sebelum menjadi menteri dan wakil presiden, ia adalah usahawan terbesar di Indonesia timur. Semasa ayah bundanya masih hidup, ke mana pun ia pergi, ia selalu pamit kepada ayah bundanya.

Pesan moral yang ada, kecintaan kepada orangtua yang selalu berbuah manis. Tentu ini jauh dari panggung ilmiah, jauh dari pelbagai teori ekonomi. Ini hanya bisa dirasakan oleh mereka yang penuh cinta kepada orangtua.