2012-12-12

Evacuated Tube Transport (ETT)


Keliling Dunia dalam Enam Jam, Mau?

foto

Jum''at, 20 April 2012 | 00:12 WIB
TEMPO.CO , London -  Bayangkan Anda tengah berjalan-jalan di London, dan wuzz...tiga perempat jam kemudian, Anda sudah berada di bawah patung Liberty di New York. Jika ide revolusioner dalam bidang transportasi ini terwujud, maka keliling dunia hanya akan ditempuh dalam waktu enam jam saja.

Adalah teknologi Evacuated Tube Transport (ETT) yang memungkinkan ide ini terwujud. Moda transportasi lintas benua ini bukan transportasi udara supercepat, melainkan semacam tabung dengan rel khusus yang nir-gesekan. Perancangnya mengklaim teknologi ini super aman, sangat murah, dan lebih tenang dari kereta api atau pesawat terbang.

Menggunakan tabung hampa udara dengan enam kursi, gerbong sebesar 183 kg ini dirancang untuk mencapai kecepatan fenomenal hingga 4.000 mph (6.500 km/jam), dengan menggunakan energi jauh lebih sedikit daripada metode transportasi konvensional.

Tabung ini memungkinkan penumpang untuk melakukan perjalanan dari New York ke Los Angeles hanya dalam 45 menit, dari New York ke Cina hanya dalam dua jam, atau keliling dunia hanya dalam enam jam.

Para desainer di belakang ETT percaya bahwa sistem mereka lima puluh kali lebih cepat dari mobil listrik atau kereta api tercepat. Melalui jalur khusus Personal Rapid Transit, ''gerbong'' berbentuk kapsul ini akan melesat bak lalu lintas di internet. Pembangunan jalur itu juga diklaim hanya seperempat biaya jalan raya dan sepersepuluh dari biaya pembangunan rel kereta api supercepat.

Namun sayangnya, hingga kini belum ada pihak yang berminat mengembangkannya. Teknologi bernama dagang Evacuated Tube Transport ini pertama diciptakan oleh insinyur mekanik Daryl Oster di tahun 1990-an awal dan pada tahun 1997 ia mendapatkan paten untuk teknologi ini.

Sejak itu ia telah berhasil membangun konsorsium pemegang lisensi untuk membantunya mengembangkan sistem ETT. Namun, meskipun penawaran untuk beberapa proyek infrastruktur publik telah dilakukan sejak saat itu, terakhir di Korea, teknologi ini belum juga ''lepas landas''.

2012-04-01

Berbagi Itu Mulia

Apa makna hidup? Banyak pendapat tentang hal ini. Akan tetapi, satu di antaranya adalah berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Salah seorang terkaya di dunia, Warren Buffet, agaknya memahami benar makna hidup. Ia tidak hanya ingin berguna bagi dirinya, tetapi bagaimana dirinya berguna bagi orang lain. Ia memiliki pandangan yang lebih kurang sama dengan mendiang Rose Kennedy, yang dengan tegas menyatakan bahwa semua anggota keluarga Kennedy, pria-wanita, sehat-kurang sehat, harus berguna bagi Amerika Serikat dan dunia.
Bagi Warren Buffet, hidup ini baru sangat bermakna kalau kita bisa berbagi sebab berbagi itu mulia.
Warren Buffet yang selalu bergantian dengan Bill Gates menjadi orang terkaya di Amerika Serikat dan dunia, di antaranya menjadi pemilik Bank of America, Coca Cola, IBM, Colgate, Gillette, dan aneka usaha ritel. Kekayaannya antara 40 miliar dollar AS dan 50 miliar dollar AS. Hal yang mengesankan adalah ia menyatakan akan menyerahkan 80 persen dari kekayaannya kepada sebuah lembaga sosial yang dipelopori Bill Gates. Dua anaknya tidak perlu diberi banyak warisan agar mereka tetap memiliki kreasi, inovasi, serta membangun mental suka berbagi.
Bagi Warren Buffet, hidup ini baru sangat bermakna kalau kita bisa berbagi sebab berbagi itu mulia. Amerika Serikat, meski menjadi negara kaya, masih banyak warganya yang hidup serba miskin. Mereka tidur di taman, di bawah jembatan, di samping asrama mahasiswa, dan sebagainya. Banyak pula anak muda Amerika Serikat yang brilian sehingga perlu diberi anggaran lebih untuk membuat riset berkelas. Kelak riset mereka amat berguna bagi kemanusiaan dan kemajuan peradaban manusia.
Hal yang mengejutkan, lelaki kaya raya ini hidup amat sederhana. Meski seorang triliuner, ia kurang suka pesta dan enggan membuang uang percuma. Pakaian yang dikenakannya dari bahan sederhana, begitu pula sepatunya. Perabotan di rumahnya pun, seperti pernah ditulis beberapa media terkemuka di Amerika Serikat, terbuat dari ”bahan biasa”, tidak mencerminkan seorang triliuner dunia.
Dalam pengamatan Kompas, para usahawan besar yang membangun usahanya dari bawah tak sedikit yang mempunyai gaya hidup mirip Warren Buffet. Mereka ada yang hidup sederhana. Mereka mengganti mobil setelah menggunakannya enam sampai delapan tahun.
Rumah mereka pun umumnya sangat sederhana. Rumah mereka sama sekali tidak mencerminkan rumah orang yang sangat berada. Mereka lebih memilih menyumbang untuk tujuan sosial.
Mereka sangat unik. Beberapa eksekutif tingkat tinggi di perusahaan-perusahaan skala besar di Jakarta menuturkan, mereka kerap sungkan kalau datang ke rumah majikannya. Rumahnya ternyata jauh lebih mentereng dibandingkan dengan rumah majikannya

Keikhlasan yang Memesona

Usahawan Edwin Soeryadjaya lagi jadi buah bibir. Bukan hanya karena ia tengah meraih sukses besar sebagai usahawan, melainkan juga karena keikhlasannya berteman dan kecintaannya kepada kedua orangtuanya. Dan kendati menjadi sumber inspirasi para saudagar, Edwin tetap lebih suka berada di belakang panggung.

Hal yang banyak dipercakapkan adalah sikapnya ketika krisis Bank Summa sekitar tahun 1990. Pada masa yang amat sulit itu, sang ayah, yakni William Soeryadjaya, melepas banyak aset, termasuk saham di PT Astra International. Edwin lebih banyak diam bersama orangtuanya. Tidak ada kata-kata mengumpat.

Ketika ditanya Kompas, bisnis apa yang ia kembangkan sekarang, ia hanya berkata pendek, ”Ada deh, namanya juga kita perlu hidup. Yang penting hidup lurus.”

Sejumlah pengusaha terkemuka angkat topi soal Edwin. Menurut mereka, sukses Edwin dalam bisnis pertambangan, perdagangan, dan industri selama satu dasawarsa terakhir ini semacam buah dari kesabaran, ketabahan, dan keikhlasan.

”Dalam kehidupan bisnis dan tentu juga dalam aspek kehidupan lain, keikhlasan yang dilakukan Edwin itu sesuatu yang memesona. Sang Maha Pencipta memberi rahmat luar biasa baginya,” ujar CEO Grup Garudafood Sudhamek Agoeng, di Jakarta, pekan lalu. Apa yang dilakukan Edwin menambah spirit para pebisnis lain. Ia membuat para pelaku ekonomi melihat ada lokomotif lain dari kehidupan berbisnis.

Dari catatan Kompas, pencapaian Edwin dalam bisnis ini sudah melampaui apa yang pernah diraih ayahnya. Hal yang kemudian tampak menarik adalah sikapnya yang tetap rendah hati. Ia acap datang ke forum publik, tetapi selalu enggan berada di panggung. Ia lebih suka di belakang layar. Tidak heran kalau kini ia menjadi usahawan yang dipandang publik.

Tentu bukan hanya Edwin yang patut menjadi contoh dalam berbisnis dan berbagai sikap nonbisnis, seperti ketabahan dan keikhlasan. Anak-anak dari taipan Eka Tjipta Widjaja termasuk di antara pebisnis yang sukses. Mereka juga dikenal taat kepada orangtua. Eka Tjipta juga mendidik mereka dengan keras. Hasilnya, anak-anaknya kini jauh dari manja, menjadi pekerja keras, dan tidak mudah menyerah.

Nirwan Bakrie, Solichin Kalla, dan Erwin Aksa Machmud, sekadar menyebut beberapa contoh, juga termasuk di antara usahawan-usahawan sukses yang tetap dekat dengan orangtuanya. Orangtua menjadi sumber inspirasi dan panutan yang luar biasa.

Soal Jusuf Kalla, sebelum menjadi menteri dan wakil presiden, ia adalah usahawan terbesar di Indonesia timur. Semasa ayah bundanya masih hidup, ke mana pun ia pergi, ia selalu pamit kepada ayah bundanya.

Pesan moral yang ada, kecintaan kepada orangtua yang selalu berbuah manis. Tentu ini jauh dari panggung ilmiah, jauh dari pelbagai teori ekonomi. Ini hanya bisa dirasakan oleh mereka yang penuh cinta kepada orangtua.

Menaklukkan Ketakutan Mendirikan Usaha Baru

Usahawan Indonesia, Elijah Frangkle W, lagi di kawasan The Bund Shanghai, China. Di area elite di tepian Sungai Huangpu itu, Elijah hendak membangun hotel dan beberapa apartemen. Saudara-saudaranya tidak ada yang mendukung karena saat itu, tahun 1998, mereka sendiri kerepotan menghadapi krisis ekonomi yang menikam Indonesia.
Akan tetapi, pengusaha lulusan Universitas Berkeley, Amerika Serikat, ini yakin, justru pada saat krisis, di situlah ada peluang. Elijah pun membujuk ayahnya, salah seorang usahawan besar, untuk menambah modal. Sang ayah pada awalnya ragu. Apakah si anak sudah melakukan perhitungan matang. Namun, sebagai ayah, ia akhirnya tersentuh juga oleh tekad putranya. Ia mengucurkan uang pribadinya kepada Elijah.
Proyek pun dimulai. Ia sudah menggali lubang dalam untuk proyek prestisius itu. namun, apa hendak dikata, semua harga bahan baku melonjak. Anggaran proyek membengkak. Butuh dana segar, tetapi tidak menemukan kreditor. Ia mendapat dana dari sebuah bank lokal Shanghai, tetapi tidak cukup besar karena hanya bisa membuat pilar-pilar beton. Proyek itu macet.
Elijah yang hendak mencatat sejarah sukses berbisnis di negeri lain dicekam ketakutan. Modal yang ada bakal menguap. Sementara ayahnya selalu berpesan, apa pun utang harus dibayar. Utang kepada keluarga dan utang pada bank atau teman sama saja kedudukannya. ”Namanya utang, ya, harus dibayar. Sekali gagal bayar utang atau sekali menghindari bayar utang, karier sebagai usahawan selesai,” ujar ayahnya kepada Elijah. ”Saya sulit tidur dan makan,” tuturnya di Jakarta baru-baru ini.
Ketika jatuh tempo, Elijah dan istrinya menjual semua aset milikinya untuk bayar utang kepada ayah dan bank. Ayahnya tersenyum dan menepuk pundaknya. ”Begitulah kalau ingin jadi pengusaha. Jaga martabat, jangan menghindar utang, Apa pun alasannya.” Elijah dan istri hanya tersenyum kecut.
Di luar dugaan, ayahnya kembali meminjamkan uang untuk modal membangun apartemen dan hotel yang sedang dalam pembangunan. Elijah pun spontan bereaksi cepat. Ia ke Shanghai untuk memulai proyeknya. Ia mengenyahkan semua kesedihan selama empat tahun ini, selama periode 1998-2002, saat proyeknya terbengkalai.
Ia pun habis-habisan. Proyek dikebut tanpa jeda. Akhirnya hotel dan apartemen selesai dalam kurun waktu satu setengah tahun. Apartemen habis terjual. Tingkat hunian hotelnya selalu di atas 97 persen. Anak muda itu kini leluasa merintis proyek-proyek properti lainnya. Kini ia menjadi salah seorang pemain properti terpandang di Tiongkok. Syukur pun dilakukan, tidak hanya saat proyeknya rampung, tetapi juga ketika proyeknya terbengkalai. Ia merasa cobaan itu bagian dari rahmat Yang Maha Pencipta sebab dengan begitu, ia menjadi lebih kuat, lebih sabar, dan lebih matang.
Pengalaman yang lebih kurang sama dialami pemain properti lainnya, Budiarsa Sastrawinata. Usahawan dengan sejumlah proyek besar di Vietnam, Kamboja, dan India ini bertutur bahwa saat memulai proyek di Hanoi, ia mengalami kesulitan. Krisis ekonomi 1998-2002 membuat ia tertatih-tatih. Namun, dengan tekad, ia menyingkirkan semua rintangan sehingga semua proyek awalnya tuntas.
Budiarsa baru bisa tersenyum ketika proyek apartemen, perumahan, dan hotelnya laris. Ia kemudian bergegas mengembangkan proyek lain sehingga bendera Grup Ciputra berkibar di Hanoi, Saigon, Phnom Penh, dan Kolkata.
Sebetulnya, tutur Budiarsa, tidak ada rencana ekspansi ke luar negeri. Namun, dalam percakapan dalam keluarga, tercetus gagasan ini. Soalnya, Grup Ciputra sudah disegani di dalam negeri. Namun, dalam era globalisasi, apa asyiknya menjadi jago kandang? Mengapa tidak melebarkan sayap usaha ke luar negeri? Pilihan pertama jatuh kepada Vietnam. Negeri itu tengah membangun dan persentase masyarakat kelas menengah naik.
Cuma, kata Budiarsa, perlu nyali luar biasa, kreativitas, serta mental baja untuk berbisnis di luar negeri. Maklum, tidak mudah menguasai medan yang masih baru

Berdiri di Kaki Sendiri

Seorang pengusaha besar Indonesia yang masih muda gelisah di ruang kerjanya. Pasalnya, majikannya yang ia kagumi memecat tiga karyawan, hanya karena mereka menggunakan waktu sejam menengok teman kerja yang sakit.
Setelah dua jam berpikir, ia mengundurkan diri. Ia berterima kasih karena sudah dipercaya menjadi chief executive officer selama enam tahun, sejak ia berusia 26 tahun (2002-2008). Anak muda ini sadar ia telah membuat keputusan serius. Keluar dari sebuah perusahaan besar tanpa sekoci penyelamat. Gajinya yang sekitar Rp 118 juta per bulan ia abaikan.
Setelah keluar, peraih gelar master hukum dari Harvard University ini tidak bingung. Ia mendirikan perusahaan makanan, pengepakan, dan importir mesin-mesin industri ringan. Tahun pertama, kerja keras. Seluruh 120 karyawannya, ia gugah bekerja keras. Akhir tahun, ia bersyukur. Perjuangan selama setahun meraup keuntungan bersih Rp 23 miliar.
Tahun kedua, jumlah karyawan tumbuh empat kali lipat. Keuntungannya menjadi Rp 57 miliar. ”Kalau saya tidak memutuskan berdiri di kaki sendiri, saya akan survive, tetapi pendapatan saya segitu saja. Pula saya tidak bisa mempekerjakan banyak orang,” katanya di Jakarta, Jumat (24/2/2012).
Pengalaman yang sama diutarakan seorang usahawan di bidang makanan dan minuman ringan. Dalam usia 28 tahun, dia sudah menjadi CEO di anak perusahaan dari sebuah perusahaan rokok. Gajinya tahun 1986 mencapai Rp 9 juta. Ia lalu diajak perusahaan raksasa lain, juga dengan jabatan CEO, dengan gaji empat kali lipat. Tentu saja tawaran ini ia ambil.
Tiga tahun menjadi CEO di perusahaan tersebut, dia berpikir membangun perusahaan sendiri. Dua tahun pertama amat berat. Ia mengembangkan usaha bisnis makanan dan minuman ringan. Tahun keenam, setelah menguasai pasar dalam negeri, ia mulai ekspor. ”Keuntungan dari ekspor amat kecil. Tetapi sekecil-kecilnya laba itu saya ambil juga sebab kalau ekspornya ke 30 negara misalnya, akan terasa besar juga,” ujarnya saat ditemui di kediamannya, pekan lalu.
Ia peroleh karena ia berani berisiko berdiri sendiri. Namun, jangan keliru, banyak juga yang mencoba sendiri tetapi gagal. Ia lebih cocok menjadi profesional. Ini aspek yang tidak banyak diketahui orang. Berbeda menjadi seorang pekerja profesional dibanding menjadi bos di perusahaan sendiri

2012-03-29

Mereka Bekerja Keras (Bukan Korupsi)

Di tengah pesta korupsi yang memuakkan di negeri ini, masih banyak kaum muda yang kreatif dan produktif berwirausaha. Mereka inovatif, mandiri, dan menghidupi orang lain dengan berbagai usaha.

Sarjana singkong. Itulah julukan bagi Firmansyah Budi Prasetyo (30) setelah ia berbisnis singkong. Lelaki asal Yogyakarta itu sejak tahun 2006 membuat singkong goreng yang renyah dan pulen berbentuk stik dengan nama Tela Krezz. Kata ”tela” diambil dari ketela, atau ”telo” alias singkong.

Di tangan Firmansyah, singkong dalam wujud tepung juga bisa berubah menjadi kue bolu dan brownies. Khusus di Yogyakarta, kedua produk tersebut diberi merek Cokro Tela Cake. Sementara di luar Yogyakarta, brownies dikenal dengan nama Kassafa.

”Kami menggunakan 100 persen singkong tanpa tambahan terigu,” ujar Firmansyah, yang dengan bangga menyebut dirinya master of singkong.

”Gelar” sarjana tela yang dia singkat menjadi ST dan MSi dari master of singkong bahkan dicantumkan dalam kartu nama lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini. ”Dari sepuluh teman gaul zaman kuliah, delapan orang jadi PNS, satu pengacara, dan saya jualan singkong,” ujar Firmansyah.

Si laris Sally

Kita tengok kegigihan kaum muda lain, yaitu Donny Pramono (29), kelahiran Kendari, Sulawesi Tenggara, yang bersekolah di Surabaya, Jawa Timur. Ia membuka usaha Sour Sally di mal Senayan City, Jakarta.

Pertama kali dibuka pada pertengahan tahun 2008, hingga berbulan-bulan kemudian, antrean panjang pembeli selalu mewarnai toko pertamanya itu.

Toko yang tidak menyertakan nama produk tersebut memang mengundang tanya. Setelah berada di dalam kios, barulah pengunjung akan mendapati produk yang dijual, yaitu yoghurt beku dengan berbagai macam topping. Pada awalnya, banyak yang mengira Sour Sally adalah waralaba dari luar negeri.

Donny, yang bergelar master di bidang pemasaran dari University of La Verne, California, Amerika Serikat, punya pemikiran sendiri tentang bisnis yang terilhami dari gaya hidup makan yoghurt di AS. Baginya, pencitraan merek berperan sangat penting untuk menciptakan gaya hidup yang sama di Indonesia.

”Saya ingin, ketika bicara yoghurt, orang langsung ingat pada Sour Sally. Bagi saya, siapa pun bisa membuat yoghurt. Jadi, bisnis saya harus kuat di branding,” kata Donny.

Untuk mewujudkan mimpinya itu, Donny menyiapkan konsep dagang dengan memakai jasa konsultan desain merek di Singapura. Dari konsultasi inilah lahir nama Sour Sally.

”Sally itu seorang gadis kecil yang manis, lalu dipadukan dengan sour yang artinya asam. Nama ini sesuai dengan produk yang dijual, yaitu yoghurt. Jadi, Sour Sally tidak hanya produk, tetapi juga merek dan karakter,” tutur Donny.

Inovasi, seperti dikatakan pakar pemasaran, Rhenald Kasali, menjadi kunci seorang wirausaha. ”Inovasinya bisa berupa produk, servis, juga cara memasarkan. Inovasi inilah yang menjadi pembeda dengan mereka yang disebut pedagang,” kata Rhenald.

Di sekeliling kita, inovasi produk salah satunya bisa dilihat pada produk kuliner. Banyak yang memilih bidang kuliner dengan mengambil semangat keindonesiaan. Lihat saja orang- orang yang memadukan cokelat dengan berbagai rasa jamu dan makanan tradisional. Ada pula yang mengubah singkong atau ubi menjadi brownies, mi, muffin, atau pie.

Jualan di bus

Inovasi juga menjadi salah satu kunci sukses Fiki Satari (36), pemilik bisnis clothing di Bandung dengan nama Airplane Systm. Clothing adalah sebutan untuk bisnis yang memproduksi sendiri, lengkap dengan label dari produk-produknya. Airplane Systm, sejak didirikan tahun 1998, punya beragam produk mode, seperti kaus, jaket, sweater, jins, sepatu, tas, ikat pinggang, dan dompet.

Seiring dengan tumbuhnya pemilik clothing, distro, factory outlet, dan mal yang menjual produk-produk bermerek internasional, persaingan yang kian ketat tak terelakkan. Fiki pun berinovasi, salah satunya dalam desain produk. Dia menerapkan apa yang berlaku di dunia mode. Sejak tahun 2007 dibuatlah tren berdasarkan musim.

Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran ini membagi setiap tahunnya ke dalam tiga musim dan membuat tema yang berbeda untuk setiap musim. Tema-tema ini diterapkan pada warna dan gambar produk, terutama pada kaus.

Sumber ide beragam. Untuk musim terbaru tahun ini, idenya berasal dari usia Airplane Systm yang mencapai 14 tahun. Berdasarkan angka tersebut dan target pasar untuk kalangan remaja, tema baru ini diberi nama Fourteen for Teenage. Salah satu koleksi kaus dari tema ini akan bergambar karya 14 seniman, di antaranya Tere dan Tisna Sanjaya.

Fiki juga pernah membuat tema Dancing Smoke tahun 2009 yang inspirasinya berasal dari asap obat nyamuk. ”Waktu melamun, saya lihat bentuk asap obat nyamuk. Ternyata kalau dilihat dengan teliti bagus juga karena bentuknya bisa berubah- ubah,” kata Fiki.

Dari bentuk asap ini, terciptalah berbagai gambar abstrak yang disablon di atas kaus. Tidak hanya itu, setiap gambar dimaknai sebagai personifikasi karakter manusia. Misalnya, tipe aliran asap yang lembut (laminar) cocok untuk mereka yang berkarakter tenang, sedangkan asap yang berputar-putar (swirl) bisa dipakai untuk mereka yang bertipe agresif. Dengan pilihan ini, setiap pembeli bisa memilih kaus sesuai dengan karakternya.

Fiki juga membuat cara pemasaran kreatif. Sejak tahun 2006, dia membuat toko berjalan dengan menggunakan sebuah bus yang disebut Airbus One. Bagian dalam bus dirombak, dipasangi rak untuk memajang produk-produk Airplane Systm. Bus ini didapat atas kerja sama dengan teman yang bekerja di perusahaan otobus.

”Ide dan jaringan yang luas adalah kunci berwirausaha. Biaya juga. Tetapi untuk biaya, sumbernya bisa berasal dari mana saja, seperti yang saya lakukan dengan membuat Airbus One,” kata Fiki.

Inovatif, cerdas, tekun, dan kerja keras membuka peluang usaha: itulah yang dilakukan kaum muda tersebut. Bukan korupsi yang menyengsarakan rakyat.

12 Wirausahawan Terbesar Sepanjang Masa

Menjadi seorang wirausaha adalah hal yang mungkin bisa terlihat sulit atau mudah. Menjadi seorang wirausaha bisa jadi panggilan hati. Berwirausaha pun butuh keberanian untuk mengambil risiko.
Hal-hal itu bisa jadi yang dipunyai oleh seorang Jeff Bezos. Awalnya, yakni pada tahun 1992, Jeff telah menjadi seorang wakil presiden senior di perusahaan reksa dana DE Shaw yang berbasis di New York. Lantas ia pun berangan-angan untuk membentuk sebuah perusahaan yang menjual buku melalui internet.
Jeff mengutarakan hal ini kepada bosnya. Apa tanggapan bosnya? "Itu terdengar sebagai ide yang bagus, tapi itu merupakan ide yang lebih bagus bagi seseorang yang belum mendapatkan sebuah pekerjaan yang bagus." Apa yang dikatakan bosnya tak lantas membuat Jeff mengurungkan keinginannya. Inilah ciri lain dari seorang wirausahawan sejati, yakni tidak hanya berani berangan-angan, tetapi juga berani mewujudkan.
Setelah 48 jam berpikir, Jeff keluar dari pekerjaannya yang nyaman itu dan memulai bisnis Amazon.com. Kini ia telah memiliki 56.200 pekerja. Nilai usahanya pun sekitar 80 miliar dollar AS. Apa yang dilakukan Jeff tersebut banyak dinilai oleh para editor hingga penulis senior dalam sejumlah media bisnis adalah suatu hal yang unik. Jeff telah membuat catatan tersendiri dalam perekonomian AS bahkan dunia. Bahkan ia pun dimasukkan sebagai 12 wirausahawan terbesar pilihan majalah Fortune.
Lantas siapa lainnya yang berhak disandingkan bersama Jeff dalam daftar tersebut? Ada Steve Jobs yang membuat Apple menjadi perusahaan yang paling panas dan bernilai di bumi ini.
Mark Zuckerberg yang akan membuat Facebook go public. Bahkan, disebut-sebut penawaran perdana saham media sosial ini akan menjadi yang terbesar sepanjang masa dengan nilai lebih dari 80 miliar dollar AS.
Bill Gates dengan Microsoftnya telah membantu revolusi dalam personal computer (PC). Larry Page and Sergey Brin, mereka adalah pendiri Google yang kini mempunyai nilai pasar sekitar 203,2 miliar dollar AS.
Fred Smith, pemilik perusahaan jasa logistik FedEx. Pengalaman wirausahanya justru didapatkan Fred ketika melayani negara dalam Perang Vietnam.
Herb Kelleher, pemilik perusahaan Southwest Airlines. Ia mempunyai pandangan bahwa "Pelanggan adalah orang yang pertama datang. Dan jika kamu memperlakukan karyawan kamu dengan baik, coba tebak? Pelanggan kamu datang kembali dan itu membuat para pemegang sahammu pun senang. Mulai dengan pegawai dan sisanya akan mengikuti."
Howard Schultz, si empunya kedai kopi Starbucks. Ia berhasil menghidupkan kembali merek Starbucks dengan menantang cara lama dalam melakukan sesuatu.
Sam Walton kini sukses mengelola toko Wal-Mart. Nasihatnya adalah berikan orang apa yang mereka mau. Dengan nasihatnya itu, Wal-Mart pun sukses dengan penjualan mencapai 446,9 miliar dollar AS.
Kemudian John Mackey, pemilik Whole Foods. Ia pun kini telah menjalankan Whole Foods Market dengan lebih dari 300 supermarket dan memperkerjakan lebih dari 56.000 orang.
NR Narayana Murthy, pendiri Infosys sebagai salah satu perusahaan terbesar di India yang membantu mentransformasi ekonomi negara Asia Selatan ini dan memasukkannya sebagai ekonomi yang patut diperhitungkan di dunia.
Oprah Winfrey yang dikenal dengan program televisi yang menginspirasi banyak orang. Ia pun disebut mempunyai perusahaan media yang tangguh.
Anita Roddick, pendiri Body Shop. Anita berhasil menjajakan produk perawatan tubuhnya yang bersahabat dengan alam.
Muhammad Yunus, si pendiri Grameen Bank. Banknya tersebut telah membantu banyak orang miskin dengan memberikan kredit mikro di Bangladesh. Kini model Grameen telah berkembang di lebih dari 100 negara dan membantu jutaan orang.
Dua belas orang tersebut adalah pilihan secara subyektif dengan penilaian bahwa mereka dan usahanya telah berdampak signifikan secara sosial dan ekonomi. Mereka telah menjadi inspirasi bagi para pekerjanya dan wirausahawan lainnya. Ada inovasi yang mereka ciptakan. Mereka telah memiliki organisasi yang berkelanjutan dan jika digabungkan memiliki nilai pasar lebih dari 1,7 triliun dollar AS. Mereka pun mempekerjakan lebih dari 3 juta orang, mulai dari yang tertinggi yakni 2,1 juta pekerja di Wal-Mart dan lebih dari 3.000 orang di Facebook.