2012-04-01

Berbagi Itu Mulia

Apa makna hidup? Banyak pendapat tentang hal ini. Akan tetapi, satu di antaranya adalah berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Salah seorang terkaya di dunia, Warren Buffet, agaknya memahami benar makna hidup. Ia tidak hanya ingin berguna bagi dirinya, tetapi bagaimana dirinya berguna bagi orang lain. Ia memiliki pandangan yang lebih kurang sama dengan mendiang Rose Kennedy, yang dengan tegas menyatakan bahwa semua anggota keluarga Kennedy, pria-wanita, sehat-kurang sehat, harus berguna bagi Amerika Serikat dan dunia.
Bagi Warren Buffet, hidup ini baru sangat bermakna kalau kita bisa berbagi sebab berbagi itu mulia.
Warren Buffet yang selalu bergantian dengan Bill Gates menjadi orang terkaya di Amerika Serikat dan dunia, di antaranya menjadi pemilik Bank of America, Coca Cola, IBM, Colgate, Gillette, dan aneka usaha ritel. Kekayaannya antara 40 miliar dollar AS dan 50 miliar dollar AS. Hal yang mengesankan adalah ia menyatakan akan menyerahkan 80 persen dari kekayaannya kepada sebuah lembaga sosial yang dipelopori Bill Gates. Dua anaknya tidak perlu diberi banyak warisan agar mereka tetap memiliki kreasi, inovasi, serta membangun mental suka berbagi.
Bagi Warren Buffet, hidup ini baru sangat bermakna kalau kita bisa berbagi sebab berbagi itu mulia. Amerika Serikat, meski menjadi negara kaya, masih banyak warganya yang hidup serba miskin. Mereka tidur di taman, di bawah jembatan, di samping asrama mahasiswa, dan sebagainya. Banyak pula anak muda Amerika Serikat yang brilian sehingga perlu diberi anggaran lebih untuk membuat riset berkelas. Kelak riset mereka amat berguna bagi kemanusiaan dan kemajuan peradaban manusia.
Hal yang mengejutkan, lelaki kaya raya ini hidup amat sederhana. Meski seorang triliuner, ia kurang suka pesta dan enggan membuang uang percuma. Pakaian yang dikenakannya dari bahan sederhana, begitu pula sepatunya. Perabotan di rumahnya pun, seperti pernah ditulis beberapa media terkemuka di Amerika Serikat, terbuat dari ”bahan biasa”, tidak mencerminkan seorang triliuner dunia.
Dalam pengamatan Kompas, para usahawan besar yang membangun usahanya dari bawah tak sedikit yang mempunyai gaya hidup mirip Warren Buffet. Mereka ada yang hidup sederhana. Mereka mengganti mobil setelah menggunakannya enam sampai delapan tahun.
Rumah mereka pun umumnya sangat sederhana. Rumah mereka sama sekali tidak mencerminkan rumah orang yang sangat berada. Mereka lebih memilih menyumbang untuk tujuan sosial.
Mereka sangat unik. Beberapa eksekutif tingkat tinggi di perusahaan-perusahaan skala besar di Jakarta menuturkan, mereka kerap sungkan kalau datang ke rumah majikannya. Rumahnya ternyata jauh lebih mentereng dibandingkan dengan rumah majikannya

Keikhlasan yang Memesona

Usahawan Edwin Soeryadjaya lagi jadi buah bibir. Bukan hanya karena ia tengah meraih sukses besar sebagai usahawan, melainkan juga karena keikhlasannya berteman dan kecintaannya kepada kedua orangtuanya. Dan kendati menjadi sumber inspirasi para saudagar, Edwin tetap lebih suka berada di belakang panggung.

Hal yang banyak dipercakapkan adalah sikapnya ketika krisis Bank Summa sekitar tahun 1990. Pada masa yang amat sulit itu, sang ayah, yakni William Soeryadjaya, melepas banyak aset, termasuk saham di PT Astra International. Edwin lebih banyak diam bersama orangtuanya. Tidak ada kata-kata mengumpat.

Ketika ditanya Kompas, bisnis apa yang ia kembangkan sekarang, ia hanya berkata pendek, ”Ada deh, namanya juga kita perlu hidup. Yang penting hidup lurus.”

Sejumlah pengusaha terkemuka angkat topi soal Edwin. Menurut mereka, sukses Edwin dalam bisnis pertambangan, perdagangan, dan industri selama satu dasawarsa terakhir ini semacam buah dari kesabaran, ketabahan, dan keikhlasan.

”Dalam kehidupan bisnis dan tentu juga dalam aspek kehidupan lain, keikhlasan yang dilakukan Edwin itu sesuatu yang memesona. Sang Maha Pencipta memberi rahmat luar biasa baginya,” ujar CEO Grup Garudafood Sudhamek Agoeng, di Jakarta, pekan lalu. Apa yang dilakukan Edwin menambah spirit para pebisnis lain. Ia membuat para pelaku ekonomi melihat ada lokomotif lain dari kehidupan berbisnis.

Dari catatan Kompas, pencapaian Edwin dalam bisnis ini sudah melampaui apa yang pernah diraih ayahnya. Hal yang kemudian tampak menarik adalah sikapnya yang tetap rendah hati. Ia acap datang ke forum publik, tetapi selalu enggan berada di panggung. Ia lebih suka di belakang layar. Tidak heran kalau kini ia menjadi usahawan yang dipandang publik.

Tentu bukan hanya Edwin yang patut menjadi contoh dalam berbisnis dan berbagai sikap nonbisnis, seperti ketabahan dan keikhlasan. Anak-anak dari taipan Eka Tjipta Widjaja termasuk di antara pebisnis yang sukses. Mereka juga dikenal taat kepada orangtua. Eka Tjipta juga mendidik mereka dengan keras. Hasilnya, anak-anaknya kini jauh dari manja, menjadi pekerja keras, dan tidak mudah menyerah.

Nirwan Bakrie, Solichin Kalla, dan Erwin Aksa Machmud, sekadar menyebut beberapa contoh, juga termasuk di antara usahawan-usahawan sukses yang tetap dekat dengan orangtuanya. Orangtua menjadi sumber inspirasi dan panutan yang luar biasa.

Soal Jusuf Kalla, sebelum menjadi menteri dan wakil presiden, ia adalah usahawan terbesar di Indonesia timur. Semasa ayah bundanya masih hidup, ke mana pun ia pergi, ia selalu pamit kepada ayah bundanya.

Pesan moral yang ada, kecintaan kepada orangtua yang selalu berbuah manis. Tentu ini jauh dari panggung ilmiah, jauh dari pelbagai teori ekonomi. Ini hanya bisa dirasakan oleh mereka yang penuh cinta kepada orangtua.

Menaklukkan Ketakutan Mendirikan Usaha Baru

Usahawan Indonesia, Elijah Frangkle W, lagi di kawasan The Bund Shanghai, China. Di area elite di tepian Sungai Huangpu itu, Elijah hendak membangun hotel dan beberapa apartemen. Saudara-saudaranya tidak ada yang mendukung karena saat itu, tahun 1998, mereka sendiri kerepotan menghadapi krisis ekonomi yang menikam Indonesia.
Akan tetapi, pengusaha lulusan Universitas Berkeley, Amerika Serikat, ini yakin, justru pada saat krisis, di situlah ada peluang. Elijah pun membujuk ayahnya, salah seorang usahawan besar, untuk menambah modal. Sang ayah pada awalnya ragu. Apakah si anak sudah melakukan perhitungan matang. Namun, sebagai ayah, ia akhirnya tersentuh juga oleh tekad putranya. Ia mengucurkan uang pribadinya kepada Elijah.
Proyek pun dimulai. Ia sudah menggali lubang dalam untuk proyek prestisius itu. namun, apa hendak dikata, semua harga bahan baku melonjak. Anggaran proyek membengkak. Butuh dana segar, tetapi tidak menemukan kreditor. Ia mendapat dana dari sebuah bank lokal Shanghai, tetapi tidak cukup besar karena hanya bisa membuat pilar-pilar beton. Proyek itu macet.
Elijah yang hendak mencatat sejarah sukses berbisnis di negeri lain dicekam ketakutan. Modal yang ada bakal menguap. Sementara ayahnya selalu berpesan, apa pun utang harus dibayar. Utang kepada keluarga dan utang pada bank atau teman sama saja kedudukannya. ”Namanya utang, ya, harus dibayar. Sekali gagal bayar utang atau sekali menghindari bayar utang, karier sebagai usahawan selesai,” ujar ayahnya kepada Elijah. ”Saya sulit tidur dan makan,” tuturnya di Jakarta baru-baru ini.
Ketika jatuh tempo, Elijah dan istrinya menjual semua aset milikinya untuk bayar utang kepada ayah dan bank. Ayahnya tersenyum dan menepuk pundaknya. ”Begitulah kalau ingin jadi pengusaha. Jaga martabat, jangan menghindar utang, Apa pun alasannya.” Elijah dan istri hanya tersenyum kecut.
Di luar dugaan, ayahnya kembali meminjamkan uang untuk modal membangun apartemen dan hotel yang sedang dalam pembangunan. Elijah pun spontan bereaksi cepat. Ia ke Shanghai untuk memulai proyeknya. Ia mengenyahkan semua kesedihan selama empat tahun ini, selama periode 1998-2002, saat proyeknya terbengkalai.
Ia pun habis-habisan. Proyek dikebut tanpa jeda. Akhirnya hotel dan apartemen selesai dalam kurun waktu satu setengah tahun. Apartemen habis terjual. Tingkat hunian hotelnya selalu di atas 97 persen. Anak muda itu kini leluasa merintis proyek-proyek properti lainnya. Kini ia menjadi salah seorang pemain properti terpandang di Tiongkok. Syukur pun dilakukan, tidak hanya saat proyeknya rampung, tetapi juga ketika proyeknya terbengkalai. Ia merasa cobaan itu bagian dari rahmat Yang Maha Pencipta sebab dengan begitu, ia menjadi lebih kuat, lebih sabar, dan lebih matang.
Pengalaman yang lebih kurang sama dialami pemain properti lainnya, Budiarsa Sastrawinata. Usahawan dengan sejumlah proyek besar di Vietnam, Kamboja, dan India ini bertutur bahwa saat memulai proyek di Hanoi, ia mengalami kesulitan. Krisis ekonomi 1998-2002 membuat ia tertatih-tatih. Namun, dengan tekad, ia menyingkirkan semua rintangan sehingga semua proyek awalnya tuntas.
Budiarsa baru bisa tersenyum ketika proyek apartemen, perumahan, dan hotelnya laris. Ia kemudian bergegas mengembangkan proyek lain sehingga bendera Grup Ciputra berkibar di Hanoi, Saigon, Phnom Penh, dan Kolkata.
Sebetulnya, tutur Budiarsa, tidak ada rencana ekspansi ke luar negeri. Namun, dalam percakapan dalam keluarga, tercetus gagasan ini. Soalnya, Grup Ciputra sudah disegani di dalam negeri. Namun, dalam era globalisasi, apa asyiknya menjadi jago kandang? Mengapa tidak melebarkan sayap usaha ke luar negeri? Pilihan pertama jatuh kepada Vietnam. Negeri itu tengah membangun dan persentase masyarakat kelas menengah naik.
Cuma, kata Budiarsa, perlu nyali luar biasa, kreativitas, serta mental baja untuk berbisnis di luar negeri. Maklum, tidak mudah menguasai medan yang masih baru

Berdiri di Kaki Sendiri

Seorang pengusaha besar Indonesia yang masih muda gelisah di ruang kerjanya. Pasalnya, majikannya yang ia kagumi memecat tiga karyawan, hanya karena mereka menggunakan waktu sejam menengok teman kerja yang sakit.
Setelah dua jam berpikir, ia mengundurkan diri. Ia berterima kasih karena sudah dipercaya menjadi chief executive officer selama enam tahun, sejak ia berusia 26 tahun (2002-2008). Anak muda ini sadar ia telah membuat keputusan serius. Keluar dari sebuah perusahaan besar tanpa sekoci penyelamat. Gajinya yang sekitar Rp 118 juta per bulan ia abaikan.
Setelah keluar, peraih gelar master hukum dari Harvard University ini tidak bingung. Ia mendirikan perusahaan makanan, pengepakan, dan importir mesin-mesin industri ringan. Tahun pertama, kerja keras. Seluruh 120 karyawannya, ia gugah bekerja keras. Akhir tahun, ia bersyukur. Perjuangan selama setahun meraup keuntungan bersih Rp 23 miliar.
Tahun kedua, jumlah karyawan tumbuh empat kali lipat. Keuntungannya menjadi Rp 57 miliar. ”Kalau saya tidak memutuskan berdiri di kaki sendiri, saya akan survive, tetapi pendapatan saya segitu saja. Pula saya tidak bisa mempekerjakan banyak orang,” katanya di Jakarta, Jumat (24/2/2012).
Pengalaman yang sama diutarakan seorang usahawan di bidang makanan dan minuman ringan. Dalam usia 28 tahun, dia sudah menjadi CEO di anak perusahaan dari sebuah perusahaan rokok. Gajinya tahun 1986 mencapai Rp 9 juta. Ia lalu diajak perusahaan raksasa lain, juga dengan jabatan CEO, dengan gaji empat kali lipat. Tentu saja tawaran ini ia ambil.
Tiga tahun menjadi CEO di perusahaan tersebut, dia berpikir membangun perusahaan sendiri. Dua tahun pertama amat berat. Ia mengembangkan usaha bisnis makanan dan minuman ringan. Tahun keenam, setelah menguasai pasar dalam negeri, ia mulai ekspor. ”Keuntungan dari ekspor amat kecil. Tetapi sekecil-kecilnya laba itu saya ambil juga sebab kalau ekspornya ke 30 negara misalnya, akan terasa besar juga,” ujarnya saat ditemui di kediamannya, pekan lalu.
Ia peroleh karena ia berani berisiko berdiri sendiri. Namun, jangan keliru, banyak juga yang mencoba sendiri tetapi gagal. Ia lebih cocok menjadi profesional. Ini aspek yang tidak banyak diketahui orang. Berbeda menjadi seorang pekerja profesional dibanding menjadi bos di perusahaan sendiri